SULUTNEWSTV. com, MANADO – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendorong peningkatan literasi masyarakat dan pemerintah daerah mengenai ekonomi karbon sebagai bagian dari upaya mencapai target Net Zero Emission tahun 2060.
Untuk mencapai itu, OJK menggelar Sosialisasi Perdagangan Karbon bagi Sektor Jasa Keuangan dan Pelaku Industri Daerah di Sulawesi Utara, yang digelar di Aula Mapalus Kantor Gubernur Sulut, Kamis(9/10/2025).
Deputi Komisioner Pengawas Emiten Transaksi Efek dan Pemeriksaan Khusus OJK I. B. Aditya Jayaantara mengatakan kegiatan sosialisasi yang digelar di Manado menjadi langkah penting dalam memahami nilai ekonomi karbon serta manfaatnya bagi pemerintah dan sektor usaha.
“Tujuan utama dari kegiatan ini adalah meningkatkan literasi tentang karbon itu sendiri apa itu karbon, apa manfaatnya bagi negara, pemerintah provinsi, maupun badan usaha di bawahnya,” ujar Aditya didampingi Kepala OJK SulutGoMalut Robert H. P Sianipar.
Ia menjelaskan, pengembangan ekonomi karbon menjadi bagian dari upaya membangun perekonomian yang berkelanjutan dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan. Nilai ekonomi karbon, lanjutnya, dapat dikonversi menjadi kredit yang bisa diperdagangkan di bursa, sehingga memberikan manfaat ekonomi langsung maupun tidak langsung bagi swasta, BUMD, serta pemerintah daerah.
“Manfaat ekonomi karbon nantinya bisa dikonversi menjadi carbon credit yang diperdagangkan di bursa. Keuntungannya dapat dirasakan oleh swasta maupun pemerintah daerah melalui BUMD,” jelasnya.
“Selain itu, aspek perpajakan juga akan memberikan manfaat tambahan, dan program ini sekaligus mendukung komitmen Indonesia dalam Paris Agreement menuju Net Zero Emission 2060,” tambahnya.
Aditya menyebut potensi ekonomi karbon di Sulawesi Utara sangat besar, terutama dari sektor lingkungan seperti mangrove, terumbu karang, dan energi panas bumi. Jika dikelola optimal, potensi nilai ekonomi karbon dari sektor tersebut bisa mencapai hampir Rp100 miliar per tahun, dengan kebutuhan investasi yang relatif kecil.
“Potensi nilai ekonomi karbon di Sulut, bila dikonversi dengan harga pasar saat ini, bisa mencapai sekitar seratus miliar rupiah per tahun. Apalagi, investasi yang dibutuhkan sangat minim, cukup dengan menjaga dan menanam kembali mangrove,” ungkapnya.
Menyambung, Direktur Pengembangan Pasar Modal Indonesia Jeffrey Senduk menyebut sejauh ini sudah ada 132 penyelenggara yang aktif di Bursa Karbon Indonesia, termasuk salah satunya proyek Lahendong di Sulawesi Utara yang merupakan salah satu proyek pertama yang tercatat dan aktif diperdagangkan.
“Proyek Lahendong menjadi salah satu proyek perdana di Bursa Karbon Indonesia. Unit karbonnya bahkan sudah terjual habis, dan mereka sedang menyiapkan sertifikasi unit karbon baru untuk perdagangan berikutnya,” kata Senduk.

Ia menambahkan, ke depan, regulasi daerah seperti Peraturan Daerah (Perda) dapat menjadi opsi untuk memperkuat pelaksanaan program karbon di tingkat provinsi, dengan tetap mempertimbangkan kearifan lokal dan koordinasi bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Apakah perlu perda atau tidak, itu bisa dipertimbangkan masing-masing provinsi sesuai dengan kondisi lokalnya. Tapi tentu perlu koordinasi dengan KLHK sebagai lembaga yang berwenang dalam penerbitan nilai ekonomi karbon,” ujarnya.
Sementara itu, Gubernur Sulawesi Utara Meyjen TNI Purn Yulius Selvanus melalui Pj Sekprov Sulut Tahlis Gallang menyampaikan apresiasi dan rasa syukur atas inisiatif Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menyelenggarakan kegiatan sosialisasi mengenai ekonomi karbon di daerah. Kegiatan ini dinilai selaras dengan komitmen pemerintah daerah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Tahlis menyampaikan bahwa program yang diinisiasi OJK tersebut memberikan banyak manfaat strategis, baik dari aspek lingkungan maupun ekonomi.
“Sosialisasi ini sangat membantu pemerintah provinsi dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca,” ujar Tahlis Galang.
Ia menjelaskan, penerapan ekonomi karbon tidak hanya berdampak pada pelestarian lingkungan, tetapi juga membuka peluang peningkatan pendapatan daerah. Ketika penerimaan negara dari sektor pajak meningkat, maka secara otomatis Dana Bagi Hasil (DBH) yang diterima daerah juga akan ikut bertambah.
“Dari sisi pendapatan, kalau penerimaan pajak negara meningkat, otomatis dampaknya ke daerah juga positif karena kita akan menerima DBH yang lebih besar,” jelasnya.
Lebih lanjut, Tahlis menuturkan bahwa potensi besar dari ekosistem pesisir seperti padang lamun, mangrove, dan terumbu karang dapat dikelola secara optimal melalui BUMD di kabupaten dan kota. Pengelolaan ini dinilai mampu menciptakan sumber pendapatan asli daerah (PAD) baru yang berkelanjutan.
“Potensi seperti mangrove dan terumbu karang bisa dikelola melalui BUMD. Jika BUMD memperoleh pendapatan dari pengelolaan karbon ini, otomatis mereka dapat menyetorkan dividen ke kas daerah,” tambahnya.
Ia menekankan, langkah ini merupakan contoh nyata bagaimana pemerintah daerah dapat menggali potensi ekonomi berbasis lingkungan secara arif, bijaksana, dan berkelanjutan.
“Inilah bentuk nyata bagaimana kita menggali potensi yang ada di daerah dengan cara yang bijaksana dan tetap menjaga keberlanjutan lingkungan,” tutup Tahlis Galang.(*/gabby)
