Manado – Sidang lanjutan perkara Dana Hibah Sinode GMIM dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Manado, Kamis (6/11/25).
Agenda sidang kali ini menghadirkan saksi ahli dari pihak terdakwa, salah satunya yakni, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI dua periode, Alexander Marwata.
Dalam keterangannya di hadapan majelis hakim, Alexander menegaskan bahwa tidak semua penggunaan dana hibah dapat serta-merta dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Menurutnya, unsur utama dalam tindak pidana korupsi adalah adanya niat jahat (mens rea) dan konflik kepentingan yang menyebabkan kerugian negara.
“Korupsi itu perbuatan yang disengaja dengan niat jahat. Harus dibuktikan dulu, apakah ada niat untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi,” ujar Alexander.
“Majelis, penasehat hukum, dan jaksa harus mampu membuktikan adanya niat jahat itu,” tambahnya.
Mantan Auditor Investigasi BPKP itu menjelaskan pula bahwa kerugian negara tidak bisa hanya didasarkan pada audit BPKP, sebab hasil audit tersebut tidak bersifat mengikat bagi hakim.
“Dalam fakta persidangan, hakim dapat menentukan sendiri apakah benar ada kerugian negara atau tidak. Itu bukan hal mutlak dari hasil audit,” tegas mantan Hakim Adhoc Tipikor ini.
Alexander kemudian menyoroti peran lima terdakwa dalam perkara ini, termasuk bagaimana dana hibah tersebut digunakan.
“Kalau dana hibah itu digunakan untuk kepentingan umum atau pelayanan masyarakat, meskipun proposalnya tidak sepenuhnya sesuai, sepanjang masyarakat terlayani, itu tidak masalah,” katanya.
“Kalau dana itu digunakan untuk membangun gedung, dan gedungnya sudah berdiri serta digunakan untuk ruang perkuliahan, jadi persoalannya ada di mana?,” tambah Alexander.
Ia juga menjelaskan bahwa proses lelang bukan satu-satunya cara sah dalam pelaksanaan proyek. Yang terpenting, kata dia, adalah hasil akhir bangunan memenuhi syarat teknis dan harga yang wajar.
“Kalau pakai kontraktor, tentu kontraktor akan mendapat keuntungan, itu hal yang wajar. Jadi tidak harus selalu lewat kontraktor,” jelasnya terkait aliran Dana Hibah untuk pembangunan gedung UKIT.
Menurut Alexander, perkara ini lebih tepat disebut masalah administrasi yang seharusnya bisa diselesaikan lewat mekanisme internal pemerintah seperti Inspektorat.
“Apalagi Inspektorat sudah melakukan audit dan tidak menemukan persoalan, begitu juga BPK. Kalau begitu, persoalannya ada di mana?,” ujarnya.
Dalam kesaksiannya, Alexander juga menegaskan bahwa tidak ada bukti terdakwa menerima uang atau keuntungan pribadi dari dana hibah tersebut.
“Para terdakwa tidak menerima satu sen pun dari dana hibah ini. Tidak ada pejabat yang mendapatkan promosi jabatan atau manfaat pribadi,” ujarnya.
Ia menutup dengan penjelasan bahwa inti dari korupsi adalah adanya konflik kepentingan, gratifikasi, atau aliran uang kepada pihak tertentu.
“Kalau tidak ada konflik kepentingan dan tidak ada aliran uang ke para terdakwa, maka unsur korupsi itu tidak terpenuhi,” tandasnya.
Sebagaimana diketahui, perkara Dana Hibah Sinode GMIM ini melibatkan lima terdakwa, yakni:
Jeffry Korengkeng, mantan Kepala BKAD Pemprov Sulut,
Asiano Gemmy Kawatu, mantan Asisten III Setdaprov Sulut, Hein Arina, Ketua Sinode GMIM,
Fereydi Kaligis, mantan Kepala Biro Kesra, dan Steve Kepel, mantan Sekprov Sulut.
Sidang akan terus berlanjut dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli lainnya sebelum majelis hakim mengambil kesimpulan akhir dalam perkara yang menyita perhatian publik ini. (*)
