Manado – Sidang Perkara Tindak Pidana Korupsi Nomor: 27/Pid.sus-TPK/2025/PN.Mnd, beragenda pembacaan duplik atau tanggapan tim penasihat hukum terdakwa Jeffry Robby Korengkeng, SH, MSi (JRK) terhadap replik jaksa penuntut umum, digelar, Senin (1/12/2025) di ruang Muhammad Hatta Ali di PN Manado.
Duplik ini adalah sebagai tanggapan terhadap replik jaksa penuntut umum atas pledoi penasehat hukum terdakwa yang telah dibacakan dan diberikan dalam persidangan sebelumnya.
Berikut ini isi Duplik yang dibacakan Penasehat Hukum JRK, Daniel Talantan, SH dan Steve didampingi Tteve Timothy Talantan, SH, Debie Hormati, SH dan Jery Hard Rugang, SH
“Setelah mendengar, membaca dan mencermati dengan seksama Replik Penuntut Umum dalam persidangan hari ini, maka perkenankan Penasihat Hukum Terdakwa menyampaikan Duplik atas Replik tersebut berdasarkan dalil dan argumentasi hukum sebagai berikut:
1. Bahwa pada pokoknya Penasihat Hukum Terdakwa menolak seluruh dalil baik yang tercantum dalam dakwaan, tuntutan maupun replik dari Sdr. Penuntut Umum, kecuali terhadap apa yang diakui secara tegas dalam Duplik ini;
2. Bahwa pada prinsipnya Penasihat Hukum Terdakwa secara konsisten berpegang teguh untuk seluruhnya pada materi pembelaan (pledoi) yang telah disampaikan dalam persidangan: Senin, 24 November 2025;
3. Bahwa untuk mempertegas seluruh dalil Pembelaan (pledoi) sekaligus membantah tegas dalil Replik Penuntut Umum, maka perkenankan Penasihat Hukum Terdakwa menyampaikan argumentasi pokok sebagai berikut:
3.1. Bahwa merujuk pada realitas penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi khususnya kasus-kasus berikut: pertama, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong yang telah menerima abolisi dari Presiden Prabowo Subianto, kedua, Hasto Kristianto yang telah menerima amnesti dari Presiden Prabowo Subianto, dan ketiga, Ira Puspadewi (direktur ASDP) yang baru-baru ini menerima
rehabilitasi dari Presiden Prabowo, maka terlihat secara eksplisit beberapa fakta penting sebagai berikut:
a. Kasus Tom Lembong dan Hasto Kristianto: Diduga kuat sangat berkaitan dengan adanya motif atau “balas dendam” politik;
b. Kasus Tom Lembong dan Ira Puspadewi: keduanya dinilai
tidak memiliki niat jahat (mens rea) dan tidak menerima aliran dana, sehingga kasusnya dinilai sangat dipaksakan;
c. Kasus Tom Lembong, Hasto Kristianto dan Ira Puspadewi: ketiganya didasari oleh kualitas (bukan kuantitas) alat bukti yang sangat lemah dalam mengkonstruksikan fakta perbuatan materiil para terdakwa;
d. Kasus Tom Lembong dan Ira Puspadewi: berdasarkan fakta
persidangan: niat jahat (mens rea) dan keuntungan materiil yang tidak jelas, sehingga seharusnya masuk pada ranah administratif (murni kesalahan adminstratif) dan problem manejerial belaka, sehingga para terdakwa tidak patut dibebani pertanggungjawaban pidana;
e. Kasus Tom Lembong dan Ira Puspadewi: keduanya didasari oleh kerugian keuangan negara yang abstrak (tidak jelas), bahkan memilikiki kecenderungan hanyalah sebatas potencial lost dan bukan actual lost, bahkan patut disimpulkan TIDAK ADA KERUGIAN KEUANGAN NEGARA;
3.2. Bahwa atas tindakan “intervensi” Presiden Prabowo Subianto berdasarkan hak prerogatifnya dalam ketiga kasus tersebut, menurut Penasihat Hukum Terdakwa menunjukan kalau penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dalam kondisi kekinian di negeri ini senyatanya tidak sedang baik-baik saja atau berlangsung dalam kondisi yang tidak normal. Hal mana yang paling menonjol dalam ketiga kasus tersebut adalah terjadi ketidak-harmonisan antara keadilan prosedural (procedure of justice) dengan keadilan substantif (substantive of justice), sehingga diperlukan intervensi kekuasaan demi meluruskan jalannya penegakan hukum (legal enforcement). Ketika jati diri keadilan bersuara melalui hati nurani rakyat diabaikan oleh pemegang palu keadilan yang masih dikendalikan oleh pola pikir legalistik, formalistik, dan menjunjung tinggi prosedur melebihi penghormatan terhadap keadilan substantif dan nilai kemanfaatan bagi kepentingan publik. Itulah sebabnya, menurut Penasihat Hukum Terdakwa dalam kasus a quo kekuasaan Presiden telah menjadi “tongkat pemukul” yang mengembalikan kompas keadilan dari ketersesatan sekaligus mengambil alih “pedang pemberantasan korupsi” agar tidak merenggut “jiwa” mereka yang tidak bersalah dari kehidupan yang merdeka;
3.3. Bahwa setelah menyorot tajam fakta persidangan secara komprehensif, maka dari sejumlah alat bukti baik saksi, ahli, surat dan keterangan terdakwa semakin nampak kalau apa yang dialami Terdakwa JEFFRY ROBBY KORENGKENG, S.H., M.Si memiliki kesamaan prinsipil dengan kasus Thomas Trikasih Lembong, Hasto Kristianto dan Ira Puspadewi terutama dalam hal berikut:
a. Bahwa perkara in casu dilidik bahkan disidik pada saat momentum Pilkada dimana kedudukan GMIM sebagai organisasi yang memiliki pengaruh strategis terhadap nilai elektoral, sehingga latar belakang sosiologis berupa adanya motif politik dibalik kasus ini tidak bisa dihindari. Artinya, sebagaimana pengalaman dalam kasus Tom Lembong dan Hasto Kristianto, terlalu sulit untuk mendikotomikan antara penegakan hukum murni dengan adanya dugaan kriminalisasi bermotif politik. Apalagi mencermati realitas yang sangat diskriminatif ketika dari 572 (lima ratus tujuh puluh dua) penerima hibah tahun 2020, telah ternyata hanya Sinode GMIM yang diusut sampai ke Pengadilan;
b. Bahwa tidak dapat dibuktikan adanya niat jahat (mens rea) dari
Terdakwa untuk menguntungkan subyek hukum lain dengan cara merugikan negara, karena:
1) terdakwa tidak memiliki jabatan atau kepentingan apapun yang berhubungan dengan penerima hibah atau pihak yang diuntungkan menurut surat tuntutan Penuntut Umum yakni saksi Pdt. Hein Arina, Th.D selaku Ketua Sinode GMIM;
2) terdakwa tidak menikmati keuntungan baik materiil maupun imateriil dari uang hasil kejahatan atau dari sejumlah transaksi yang dikualifisir oleh Sdr. Penuntut Umum sebagai item yang merugikan keuangan negara;
3) terdakwa tidak pernah melakukan pembicaraan ataupun konspirasi dalam bentuk apapun, baik sebelum maupun sesudah dana hibah diterima oleh penerima hibah Sinode GMIM;
4) terdakwa tidak memiliki relasi kuasa terhadap penggunaan dana hibah setelah masuk dalam rekening sinode GMIM, sehingga tidak ada transaksi dengan Memakai dana hibah yang terjadi atas dasar kehendak atau peran signifikan terdakwa; dan
5) terdakwa tidak mengetahui adanya sejumlah syarat dan mekanisme yang belum terpenuhi dalam proses hibah oleh karena: pertamat, terdapat tahapan yang terjadi sebelum terdakwa menjabat sebagai Kepala BKAD Provinsi Sulut sekaligus Pungguna Anggaran (PA), kedua, ada tahapan yang sudah bukan lagi kewenangan terdakwa atas dasar telah terjadi delegasi kewenangan kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yakni saksi MELKY W. MATINDAS;
c. Bahwa hal-hal yang dipersoalkan hanyalah seputar persoalan prosedur dan syarat administratif yang tidak memiliki implikasi langsung terhadap kerugian keuangan negara, sehingga Terdakwa tidak patut untuk dimintai pertanggungjawaban pidana;
d. Bahwa penggunaan dana hibah yang dikualifisir sebagai kerugian negara didasari oleh:
1) Auditor yang tidak memiliki standar kompetensi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
2) Metode audit yang dicantumkan dalam Laporan Hasil Audit tidak sesuai dengan fakta yang dilaksanakan;
3) Kesimpulan hasil audit yang didasari oleh data dan fakta yang tidak memadai;
4) Penggunaan uang seluruhnya untuk kepentingan pelayanan Sinode GMIM selaku penerima hibah, dan tidak ada yang dinikmati oleh Terdakwa;
Dengan demikian, seharusnya patut disimpulkan bahwa fakta adanya kerugian keuangan negara adalah tidak dapat dibuktikan.
4. Bahwa menurut Penasihat Hukum Terdakwa, intervensi Presiden dalam penegakan hukum sebagaimana dalam kasus Tom Lembong, Hasto Kristianto dan Ira Puspadewi, seharusnya tidak akan terjadi apabila penegakan hukum dapat diterjemahkan dengan pendekatan yang lebih progresif, sehingga keharmonisan antara keadilan prosedural dan keadilan substantif dapat dimaknai secara konkrit dalam putusan lembaga peradilan yang berkualitas;
5. Bahwa merujuk pada dalil angka 4 tersebut, maka perkenankan Penasihat Hukum Terdakwa mengutib salah satu pertimbangan pokok dissenting opinion dari Ketua Majelis Hakim atasnama SUNATO, S.H., M.H. dalam Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 68/Pid.Sus-TPK/2025/PN Jkt Pst, tanggal 20 November 2025 (vide, putusan halaman 1113) yakni sebagai berikut:
Bahwa Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 1544 K/Pid.Sus/2012 telah menegaskan bahwa dalam tindak pidana korupsi harus dibuktikan adanya niat atau maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, bukan sekadar adanya akibat kerugian negara. Pertanyaan fundamental yang perlu dijawab adalah apabila Para Terdakwa tidak mendapatkan keuntungan apapun baik langsung maupun tidak langsung, tidak ada hubungan keluarga atau bisnis dengan Adjie, tidak menerima suap atau gratifikasi, lalu apakah motivasi mereka untuk dengan sengaja merugikan negara lebih dari satu triliun rupiah dan menanggung resiko pidana puluhan tahun penjara.
Tidak masuk akal secara logika hukum maupun pengalaman kehidupan bahwa seseorang akan dengan sengaja melakukan kejahatan berat yang beresiko hukuman puluhan tahun penjara tanpa mendapat keuntungan apapun. Dalam semua kasus korupsi yang pernah ada, selalu ada motif ekonomi yang jelas, baik berupa pengayaan langsung maupun tidak langsung. Ketiadaan total motif ekonomi dalam perkara ini merupakan indikator kuat bahwa ini bukan tindak pidana korupsi…”
Bahwa Penasihat Hukum Terdakwa sependapat dengan argumentasi dimaksud, hal mana ketika dihubungkan dengan perkara in casu, telah ternyata sesuai fakta persidangan, terdakwa JEFFRY ROBBY KORENGKENG, S.H., M.Si tidak memiliki motif ekonomi dalam bentuk apapun dalam perkara in casu, tidak pernah melakukan konspirasi, tidak pernah menerima suap atau gratifikasi, sehingga apakah motif terdakwa untuk merugikan negara versi Penuntut Umum senilai Rp.1,6 miliar dengan menanggung ancaman resiko dipenjara bertahun-tahun bahkan dengan menanggung resiko kehilangan hak pensiun, kehilangan nama baik bahkan terhukum seumur hidup atas status status koruptor atau narapidana korupsi yang label itu akan diwarisi kepada anak cucu.??
Dengan demikian, tanpa adanya motif ekonomi yang jelas baik keuntungan langsung maupun tidak langsung seharusnya menjadi indikator yang sangat kuat kalau perkara ini BUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI.
6. Bahwa sejatinya proses pengelolaan hibah daerah yang terlaksana pada tahun 2020, tidak dapat dipandang secara terpisah atau tidak dapat dicermati dengan mengabaikan situasi pandemi covid 19 yang berimplikasi pada ketidak-normalan disemua sendi kehidupan. Kita sama-sama mengalami situasi yang dinamakan dengan lock down, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), dan isolasi mandiri dimana semuanya berlangsung ditengah peristiwa kematian yang menular massif. Fakta pandemi covid 19 adalah fakta diketahui umum dan tidak perlu dibuktikan (notoire feiten), sehingga toleransi yuridis terhadap hal- hal formalistik yang mungkin “disimpangi” tanpa niat jahat sedikitpun, maka seharusnya dalam perkara ini dipertimbangkan secara utuh sebagai alasan penghapus pidana;
7. Bahwa terbukti dalam persidangan kalau item-item yang dikualifisir sebagai temuan kerugian keuangan negara yakni:
(1) APBD Induk T.A. 2020, untuk tahap 1 dicairkan pada 22 Januari 2020 sebesar Rp. 2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah),
(2) APBD Induk T.A. 2020, untuk tahap 2 dicairkan pada 5 Juni 2020 sebesar Rp. 1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah),
(3) APBD Perubahan T.A. 2020, untuk tahap 3 dicairkan pada 22 Desember 2020 sebesar Rp. 1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah),
8. Bahwa berdasarkan uraian angka 1 s.d 7 diatas, dihubungkan dengan yurisprudensi tetap sebagai berikut:
8.1. Putusan Mahkamah Agung No.42/K/r/1965 tanggal 8 Januari 1966, dalam kaida hhukumnya :
Perbuatan melawan hukum dalam fungsi negatif, perbuatan yang secara formil melanggar norma bisa tidak dipidana jika sifat “melawan hukum” hilang karena kondisi-khusus. Putusan ini merupakan contoh klasik fungsi negatif tersebut. Hal mana ada tiga syarat yang dipertimbangkan MA untuk menghapus sifat “melawan hukum” dimana Mahkamah Agung menyebut bahwa dalam perkara ini, ketiga faktor berikut terpenuhi sehingga sifat melawan hukum materiil hilang:
a. Negara (atau keuangan negara) tidak dirugikan oleh perbuatan terdakwa.
b. Terdakwa tidak memperoleh keuntungan pribadi atau keuntungan yang tidak sah dari perbuatannya.
c. Tindakan terdakwa dilaksanakan dalam rangka kepentingan umum atau pelayanan publik – sehingga kepentingan umum dilayani.
8.2. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 29 K/Pid.Sus/2019, dalam kaidah hukumnya:
Pemanfaatan dana yang tidak sesuai peruntukan tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan telah terjadi tindak pidana selama tidak terjadi kerugian negara dan terdakwa tidak memperoleh keuntungan.
9. Bahwa merujuk pada dalil angka 1 s.d 7, selanjutnya dikaitkan yurisprudensi sebagai kaidah hukum yang telah diakui eksistensinya dalam memutuskan perkara tindak pidana korupsi sebagaimana disebutkan pada dalil angka 8, maka sejatinya dalam sistem peradilan pidana Indonesia menganut standar pembuktian melampaui keraguan yang beralasan, hakim harus memiliki keyakinan tanpa keraguan yang beralasan tentang kesalahan terdakwa. Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 1565 K/Pid.Sus/2014 menyatakan bahwa apabila terdapat keraguan atas terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana, maka keraguan tersebut harus menguntungkan terdakwa. Dalam Putusan Nomor 275 K/Pid/1983, Mahkamah Agung menegaskan bahwa apabila dari bukti dapat ditarik dua kesimpulan yang sama kuatnya, harus diambil kesimpulan yang menguntungkan terdakwa. Dalam perkara ini Penasihat Hukum Terdakwa menilai terdapat keragu-raguan substansial yang material dan fundamental:
Pertama, keraguan tentang niat jahat dimana tidak ada pengayaan atau tidak ada keuntungan pribadi sama sekali, tidak ada benturan kepentingan (conflict of interest), tidak ada motif ekonomi yang jelas, sebaliknya penggunaan dana hibah adalah terpakai untuk kepentingan yang berkaitan langsung dengan kegiatan Penerima Hibah dan senyatanya telah membawa manfaat sosial yang nyata;
Kedua, keraguan tentang hasil perhitungan oleh auditor BPKP yang tidak berkompeten, penggunaan metodologi yang tidak konsisten dan mengandung cacat fundamental sehingga hasil perhitungan kerugian keuangan negara didasari oleh alat bukti yang tidak memadai;
Ketiga, keraguan tentang garis batas antara perbuatan melawan hokum Perjanjian, pelanggaran administratif dengan tindak pidana korupsi;
Keraguan-keraguan substansial ini harus ditafsirkan menguntung kanterdakwa sesuai asas indubio proreo.
10. Bahwa berdasarkan analisa hukum sebagaimana dalil angka 1 s.d 9 diatas, maka menurut Penasihat Hukum Terdakwa telah terpenuhi sejumlah fakta yang relevan dengan kaidah hukum yurisprudensi diatas, sehingga beralasan menurut hukum untuk mengabulkan permohonan yang sudah diuraikan dalam pembelaan (pledoi) Penasihat Hukum Terdakwa yang pada pokoknya:
Membebaskan Terdakwa JEFFRY ROBBY KORENGKENG, S.H., M.Si. dari segala tuntutan hukum (vrijspraak) sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; atau
Setidak-tidaknya: Melepaskan terdakwa JEFFRY ROBBY KORENGKENG, S.H., M.Si. dari semua tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (*ChT)
